Group of women farmers in Nagpur, India, holding fresh vegetables, showcasing agricultural work.

Koperasi Multi Pihak: Ciri, Keunggulan, dan Manfaat

Salah satu perbedaan utama sepihak dan multi-pihak adalah pada keberagaman kepentingan yang membentuk koperasi dan menjadi tujuan koperasi. Koperasi-koperasi konvensional yang selama ini kita kenal dibentuk oleh anggota-anggota dengan latar belakang dan tujuan seragam. Koperasi produsen dibentuk oleh anggota-anggota yang menjadi produsen barang/jasa untuk meningkatkan efisiensi dan posisi tawar terhadap pasar. Orang-orang mendirikan koperasi konsumsi untuk mendapatkan barang/jasa lebih murah. Koperasi simpan-pinjam menghimpun orang-orang yang ingin mengakses pinjaman lebih murah dan/atau dengan prosedur lebih gampang dibandingkan yang bisa disediakan bank. Individu-individu pembentuk koperasi-koperasi ini berasal dari satu kelompok kepentingan (stakeholder): produsen yang ingin meningkatkan margin usaha melalui efisiensi dan posisis tawar terhadap pembentukan harga, atau konsumen yang menghendaki barang murah, atau rumah tangga yang membutuhkan pinjaman mudah dan murah.

Sebaliknya di dalam Koperasi Multi-Pihak bergabung orang-orang dari kelompok-kelompok kepentingan yang berbeda bahkan wajarnya bertentangan. Koperasi Multi-Pihak mewadahi para produsen yang menghendaki harga lebih tinggi atas produk mereka dengan konsumen yang menghendaki sebaliknya; ada buruh yang ingin dibayar lebih adil di satu sisi, dan di sisi lain para pemodal yang lazimnya memaksimalkan keuntungan dari menekan biaya produksi, salah satunya mempekerjakan buruh murah.

Mungkinkah para pihak berseberangan kepentingan berkolaborasi?

Sangat mungkin, dengan dua kondisional. Yang pertama para pihak menyadari bahwa hakikatnya mereka saling membutuhkan. Produsen membutuhkan off-taker, entah itu pabrik pengolahan pun pedagang. Jauh lebih baik memiliki off-taker jangka panjang dengan harga yang adil dibandingkan aji mumpung mengejar satu-dua pemborong dadakan yang menawarkan harga tinggi, apalagi dibandingkan melayani sepuluh-dua puluh individual konsumen akhir. Sebaliknya, pabrik pengolahan atau pedagang membutuhkan kesinambungan pasokan. Menjaga agar tiap-tiap pihak tetap memiliki insentif yang cukup–terutama harga yang adil bagi kedua sisi–adalah kunci keberlangsungan kerjasama yang bermanfaat bagi masing-masing pihak.

Syarat kedua dan yang paling penting adalah stakeholder yang beragam ini bersatu dalam entitas bisnis bersama sehingga dengan itu memiliki perspektif baru dan kepentingan baru yang menyatukan. Ketika petani, pelaku usaha pengolahan, dan pedagang bersatu dalam satu payung badan usaha, satu pihak melihat pihak lain sebagai bagian dari keseluruhan. Pelaku usaha pengolahan tidak lagi memandang produsen bahan mentah sebagai pihak luar yang bermitra, melainkan unit di hulu yang bertanggungjawab menyediakan bahan baku. Demikian pula para petani sebagai produsen bahan mentah memandang pengusaha pengolahan sebagai ‘sesama petani’ yang bertanggungjawab khusus mengolah produk mentah yang mereka hasilkan menjadi produk akhir. Demikian pula produsen bahan mentah dan pelaku usaha pengolahan memandang pelaku usaha pemasaran sebagai ‘rekan sekantor’ yang bertanggungjawab atas distribusi.

Kepentingan baru yang hendak dicapai melalui entitas bisnis bersama ini tidak menggugurkan kepentingan mula-mula dari tiap-tiap pihak. Kepentingan mula-mula itu tetap terlayani tetapi tidak lagi dengan cara menekan kepentingan pihak lain. Kepentingan mula-mula itu dicapai melalui mengoptimalkan manfaat yang bisa diperoleh tiap-tiap pihak dari kepemilikan bersama atas satu ekosistem bisnis terintegrasi.

Dengan model baru ini, Kesejahteraan para pihak tidak lagi bergantung kepada kemampuan mereka mendapatkan kesepakatan harga terbaik dari kacamata masing-masing (setinggi-tingginya dari kacamata produsen, serendah-rendahnya dari kacamata pembeli). Produsen bahan mentah (petani dan nelayan), akan mendapatkan bagian dari keuntungan yang dihasilkan oleh unit usaha di hilir (pengolahan dan pemasaran) tanpa harus bersusah payah terlibat aktif dalam unit-unit tersebut. Demikian pula sebaliknya, para pelaku usaha pengolahan dan pedagang turut menikmati keuntungan dari peningkatan produksi, produktivitas, dan efisiensi unit usaha di hulu.

Kepemilikan bersama oleh para pihak yang berbeda posisi dalam mata rantai produksi barang/jasa dari hulu ke hilir mengatasi problem yang tidak dapat dijawab oleh kemitraan konvensional antara bisnis pengolahan dan petani. Banyak contoh kegagalan kemitraan konvensional ini, yang sekalipun dibentuk dengan niat menguntungkan semua pihak bermitra tetapi oleh perubahan faktor eksternal segera menemukan kondisi yang menguntungkan satu pihak dan merugikan yang lainnya.

Contohnya kemitraan antara usaha pembuatan minyak goreng dengan petani kelapa. Petani dan perusahaan membangun kemitraan saling menguntungkan: jaminan pembelian bagi petani sekaligus jaminan bahan baku bagi usaha pengolahan. Relasi mutual ini segera berantakan saat harga kopra naik tinggi. Petani menderita opportunity lost (mengabaikan harga lebih tinggi yang ditawarkan pengepul kopra) jika mempertahankan kontrak menjual kelapa ke perusahaan pengolah minyak pada harga kontrak. Sebaliknya perusahaan tidak mungkin menaikkan harga beli karena berpotensi merugi. Menaikkan harga beli bahan baku berisiko kehilangan keuntungan, bahkan merugi, sebab di ujung sana konsumen akan dengan mudah beralih ke banyak merek produk minyak sawit.

Contoh yang lebih konkrit adalah dilema pedagang besar kemiri di Alor. Pak Saleh, pedagang antar-pulau yang merupakan salah satu pembeli besar kemiri di Alor –saya jumpai dalam studi pasar dan rantai nilai untuk sebuah LSM internasional, Mei 2019 — bercerita bahwa sekalipun menguntungkan, ia beberapa kali merugi besar, bahkan mencapai Rp300an juta, dalam usaha jual-beli kemiri.

Dalam menentukan harga beli di tingkat petani, pedagang besar antar-pulau di Alor menggunakan asumsi historis harga penawaran dari perusahaan-perusahaan di Surabaya. Jika menduga harga akan cukup tinggi, pedagang besar bersaing mendapatkan pasokan dengan menaikkan harga beli dari petani. Celaka bagi mereka jika saat pengiriman, harga kemiri di Surabaya jatuh, bahkan lebih rendah dari total biaya (harga beli plus bea kirim) yang mereka keluarkan. Kerugian ini mungkin bisa dicegah dengan kontrak harga jangka panjang dengan petani atau melalui praktik ijon dan tengkulak, tetapi akan tidak adil bagi petani.

Ceritanya akan berbeda jika Pak Saleh dan para petani kemiri Alor berhimpun di dalam koperasi multi-pihak. Para petani tidak akan rugi jika menjual kemiri gelondongan lebih murah kepada Pak Saleh di saat pedagang lain menawar lebih tinggi. Mengapa? Sebab jika toh nanti Pak Saleh untung besar karena ternyata harga jual di Surabaya jauh lebih tinggi dari harga perkiraan, sebagian keuntungan itu akan kembali mengalir ke para petani.

Bagaimana bisa begitu?

Melalui Koperasi Multi-Pihak, usaha perdagangan antar pulau yang dilakoni Pak Saleh menjadi unit usaha milik KMP, entah sebagai unit usaha langsung di mana Pak Saleh menjadi pengelolanya, atau unit usaha terafiliasi di mana KMP dan Pak Saleh berbagi kepemilikan. Sebagai anggota (pemilik) KMP, petani berhak atas keuntungan unit usaha perdagangan antar pulau yang Pak Saleh jalankan.

Next: Ekosistem Bisnis Teritegrasi/Inclusive Close Loop.