01 – Mari samakan Visi
Berikut ini adahal hal yang ingin saya lihat terjadi pada pada 2035. Bagaimana denganmu?

Bagi saya, kesejahteraan adalah kondisi ketika saya dapat memenuhi beragam kebutuhan hidup—tidak mesti kaya–tanpa harus bekerja setiap hari. Orang-orang menyebutnya kemerdekaan finansial. Saya ingin melihat ini terwujud paling lambat pada 2035, 10 tahun dari sekarang. Saya ingin pada saat itu saya menjalani usia sepuh dengan melakukan banyak hal yang saya sukai tanpa direpotkan dengan tuntutan pekerjaan demi nafkah.
Agar itu bisa terwujud, satu-satunya jalan adalah memupuk aset hingga kelak aset itu bekerja untuk saya. Dalam dunia yang serba dimudahkan, dengan kondisi saat ini, hal ini sangat mungkin dicapai. Saya bisa, misalnya, terus memupuk kepemilikan saham pada sejumlah perusahaan publik yang sehat dan profitable di bursa. Atau mungkin, sebagaimana banyak dilakukan orang-orang di Kupang dan Labuan Bajo, membangun sedikit demi sedikit kamar kos hingga mencapai jumlah yang dapat menghasilkan pendapatan bulanan yang sesuai standar kebutuhan hidup tertentu. Tidak terlampau sulit sebenarnya.
Sayangnya, itu bukan satu-satunya impian saya. Saya ingin hidup saya berdampak bagi banyak orang. Di tahun-tahun yang telah lalu, saya membaktikan diri untuk mereka yang kurang beruntung: buruh, petani, kaum miskin perkotaan. Saya mencoba menjadi nabi yang berteriak-teriak tentang keadilan dan kesejahteraan bagi orang-orang miskin. Seiring usia, saya menjadi lebih realistis; menyadari bahwa saya juga memiliki kebutuhan-kebutuhan yang harus dipenuhi. Saya ingin sejahtera. Tetapi saya tidak mau puluhan tahun pengabdian hilang begitu saja hanya karena saya ingin sejahtera. Saya tidak ingin sejahtera seorang diri. Saya ingin menjadi sejahtera dengan cara yang juga menyerahterakan mereka yang dahulu saya teriakkan hak-hak dan kepentingannya.
Untuk dapat mewujudkan dua impinan di atas sekaligus, jalan yang paling mungkin adalah mendirikan sebuah usaha produktif di bidang pertanian dalam arti luas—pertanian, perkebunan, peternakan, perikanan, kelautan, kehutanan, dll. Selain karena mayoritas masyarakat miskin di NTT bekerja di sektor ini, sektor ini pula yang dalam penilaian saya –sebagaimana banyak ulasan di media—akan selalu bertahan di tengah kencangnya perkembangan teknologi, penemuan baru, dan inovasi.
Mantan mitra kerja saya di Bapperida NTT pernah membuat studi ketimpangan antar wilayah di NTT dan menemukan ketimpangan pendapatan per kapita antara Kota Kupang dan kabupaten lain di NTT. Berdasarkan data, dinilai bahwa ketimpangan terjadi karena struktur ekonomi di Kota Kupang adalah perdagangan, sementara struktur ekonomi kabupaten-kabupaten di NTT adalah pertanian.
Sektor pertanian tidak menyejahterakan karena pasar menilai rendah nilai tambah yang dihasilkan petani dari aktivitas mengolah tanah dan sumber daya alam lainnya, lebih rendah dibandingkan nilai tambah yang dihasilkan industri pengolahan dan perdagangan. Ya, demikianlah kenyataannya. Sekalipun secara teori atau nalar sehat kita berpendapat nilai tambah yang dihasilkan oleh petani dari mengolah SDA seharusnya lebih besar sebab menciptakan sesuatu ”dari ketiadaan” – seperti buah dan sayur-mayur dari biji/benih– dibandingkan usaha perdagangan yang cuma menghasilkan nilai tambah dari mendekatkan produk ke konsumen – tanpa menciptakan sesuatu yang baru—namun kenyataannya pasar telah menjadi penilai yang tidak adil. Tidak ada yang bisa kita lakukan dengan itu.
Jika semata-mata mengacu pada kenyataan ini maka saya akan mengajak kawan-kawan yang juga ingin sejahtera untuk bersama-sama mendirikan usaha yang bergerak di bidang pengolahan dan perdagangan produk-produk pertanian. Namun bagaimana dengan para petani, peternak, dan nelayan? Bagaimana agar mereka turut sejahtera?
Perusahaan yang hendak dirikan ini mungkin saja membangun kemitraan strategis dengan para petani yang telah diorganisasikan sebagai sebuah koperasi. Tetapi saya kira hal ini tidak cukup sekalipun ada peningkatan pendapatan bagi mereka. Petani mungkin hanya akan diuntungkan dengan mendapatkan pasar yang stabil dan mungkin saja harga yang lebih fair karena menjadikan margin yang sebelumnya milik pedagang pengepul menjadi milik mereka.
Dalam pendekatan manajemen rantai nilai, pembentukan asosiasi petani, entah berbentuk poktan, serikat, pun koperasi produsen umumnya baru sampai pada level 2: mengubahnya dari Chain Actors menjadi Chain Partners. Dalam dua tahap ini, petani tidak turut menikmati nilai tambah dari industri pengolahan dan perdagangan produk pertanian. Sementara memfasilitasi petani agar menjadi Chain Activity Integrators sering menemui kegagalan sebab selain butuh dukungan modal yang besar, juga butuh introdusir keterampilan teknis dan kewirausahaan.
Saya tidak akan mengulas panjang lebar upaya menyejahterakan petani dengan pendekatan manajemen rantai nilai. Saya pernah menulisnya dahulu di sini, sini, dan sini. Silakan kawan-kawan membacanya.
Jalan yang paling pas menyejahterakan adalah dengan mendorongnya menjadi Chain Co-Owners, di mana para petani atau Koperasi petani turut menjadi pemilik saham dari unit-unit usaha hilir (pengolahan hasil pertanian menjadi produk akhir dan perdagangannya).
Maka ketika Bung Willy dari Prima dan Bung James dari Projo mengajak mendukung komitmen Pemerintahan Prabowo Subianto untuk mengentaskan kemiskinan melalui hilirisasi pertanian dengan koperasi sebagai salah satu aktor utamanya, saya segera terpikirkan desain kelembagaan yang memungkinkan petai menjadi Chain Co-Owners dari ekosistem bisnis pertanian yang terintegrasi dari hulu hingga hilir. Ketika gagasan ini disampaikan kepada Kadis Koperasi Visioner Ney Asmon, ia mengatakan konsep ini mirip dengan Koperasi Multi Pihak yang telah dan sedang dikembangkan di Manggarai Barat. Rupanya pada 2021, Pemerintah mengakui Koperasi Multi Pihak sebagai salah satu format koperasi. Konsep Koperasi Multi Pihak bahwa disinggung Prabowo dalam bukunya, Paradoks Indonesia.
So, demikianlah mimpi saya, visi yang saya ingin lihat terwujud pada 2035. Saya ingin Sejahtera secara Bersama-sama. Jalannya adalah dengan Koperasi Multi-Pihak di bidang usaha pertanian (dalam makna luas) yang terintegrasi dari hulu hinggi hilir.
Bagaimana denganmu?